Kritik bertubi-tubi itu sepertinya tidak mempan. Putusan pengadilan
yang memenangkan tuntutan korban ujian nasional, protes guru, demo
pelajar menolak UN, dan efek samping UN rupanya tidak pernah sampai ke
telinga pengambil kebijakan.
Lebih dari itu, pemerintah sebagai
wakil rakyat bersikukuh melaksanakan UN etika kewarganegaraannya
dipertanyakan sebab kebijakan itu melanggengkan praksis ketidakadilan
dan melestarikan kebijakan pendidikan yang cacat secara moral.
Kegagalan
dalam UN berarti tinggal kelas, mengulang setahun, atau penundaan masuk
perguruan tinggi karena harus mengikuti ujian persamaan; ini memastikan
setiap siswa telah memiliki kesempatan belajar yang sama dan mampu
membuktikan apa yang dipelajari merupakan tolok ukur pasti.
Kesempatan belajar
Gagasan
persamaan kesempatan belajar terkait ide akuntabilitas pendidikan.
Akuntabilitas pendidikan bertujuan menilai dan memastikan, para siswa
telah mengalami proses belajar secara adekuat sehingga mampu mengerjakan
ujian standar. Premis dasar akuntabilitas pendidikan adalah jika semua
siswa wajib mencapai patokan standar yang sama, mereka harus mendapat
kesempatan belajar yang sama.
Persamaan kesempatan belajar yang
menjadi prasyarat akuntabilitas pendidikan adalah memastikan semua siswa
dapat hadir di sekolah dan belajar memberi metode pengajaran
berkualitas, materi yang terorganisasi baik, logis, dan koheren, yang
didukung kehadiran guru yang cakap, kompeten, dan profesional, disertai
fasilitas sekolah yang aman dan nyaman untuk belajar, kebijakan sekolah
yang nondiskriminatif, serta pemberian materi pelajaran yang selaras
standar isi minimal kurikulum sesuai yang ditetapkan.
UN sebagai
satu-satunya penentu kelulusan siswa jelas akan memengaruhi kehidupan
individu siswa. Karena UN memiliki dampak besar terhadap individu, ia
harus memenuhi standar kelayakan evaluasi yang menghargai hak-hak
individu.
Standar ini mensyaratkan adanya orientasi pelayanan,
dengan evaluasi didesain sedemikian rupa sehingga membantu organisasi
atau individu agar dapat melayani kepentingan peserta yang tercakup
dalam target evaluasi, menjaga agar evaluasi dilakukan secara sah/legal,
memenuhi standar moral, menghormati kesejahteraan mereka yang terlibat
dalam evaluasi. Untuk menjaga kepentingan individu yang terlibat,
evaluasi semestinya didesain agar melindungi hak-hak dan memberi
kesejahteraan kepada individu itu.
Evaluasi pendidikan harus ada.
Namun, UN yang tidak menjaga kepentingan dan memberi kesejahteraan
kepada individu yang terlibat perlu dipertimbangkan ulang. Saat negara
mengharuskan setiap siswa lulus UN (jika gagal akan mengalami penghinaan
publik, dicap bodoh), tetapi gagal menyediakan kesempatan belajar yang
sama bagi siswa, kebijakan seperti ini hanya melestarikan tumbal-tumbal
UN, tidak memberi kesejahteraan kepada individu, sebaliknya justru
menghina individu di depan publik secara berkelanjutan. Karena itu,
kebijakan pendidikan seperti ini tidak memiliki kredibilitas moral.
Ketidakadilan tingkat dasar
Perbedaan
sarana dan prasarana pendidikan di kota besar, di pedesaan, dan daerah
terpencil amat mencolok. Kita lihat anak-anak belajar di ruang kelas
seperti kandang ayam atau di bangunan yang hampir roboh. Tidak nyaman.
Belum lagi perbedaan kualitas guru yang memengaruhi cara menyampaikan
materi. Persoalan ketakadilan, perbedaan akses, dan kesempatan belajar
telah ada di tingkat dasar.
Dengan ketimpangan kesempatan belajar
seperti ini, apakah pemerintah (pusat atau daerah) bisa menjamin
pelecehan dan penghinaan publik atas individu tidak terjadi dengan
memaksakan UN?
Jika kesempatan belajar yang sama itu telah ada dan
siswa secara faktual menunjukkan telah belajar, tidak akan ada siswa
yang tidak lulus. Namun, apa faktanya? Dalam setiap UN masih banyak
siswa tidak lulus.
Mereka tidak lulus karena lingkungan sosial dan
sekolah tidak memberi kesempatan belajar yang sama.
Di balik agenda ujian
Logika
baik di balik agenda ujian dan akuntabilitas pendidikan adalah setiap
anak dapat kesempatan belajar yang sama, terbukti dengan praksis
pengalaman belajar itu sendiri. Logika ini menuntut negara memberi
layanan pendidikan berkualitas.
Pemerintah memiliki tanggung jawab
moral dan politis untuk memberi kesempatan belajar, terutama terhadap
mereka yang tidak memiliki akses belajar. Tanpa perubahan kualitas
layanan pendidikan, anak-anak miskin yang bersekolah di sekolah miskin
akan tersingkirkan. Mereka terancam tidak lulus secara berkelanjutan dan
penghinaan publik yang diterimanya akan semakin besar.
Tidak
mengherankan jika anak-anak yang tidak lulus UN ada yang memilih tidak
mengulang, putus sekolah, karena tidak ingin martabatnya diinjak-injak
dua kali. Jika ini terjadi terhadap siswa SD, kebijakan pendidikan kita
benar-benar immoral sebab secara sengaja membiarkan anak-anak ini
diinjak-injak martabatnya dan hancur masa depannya.
Melaksanakan
kebijakan UN, apa pun bentuknya, dan memaksa anak untuk lulus, tetapi
pemerintah gagal menyediakan akses dan kesempatan pendidikan yang sama
merupakan kebijakan politik yang melanggar keadilan sosial. Lebih dari
itu, membiarkan anak didik mengalami penghinaan publik berkelanjutan
karena dipaksa gagal merupakan kebijakan politik pendidikan yang immoral
dan tidak bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar