Nama : Jaka Sudrajat
NPM : 53410708
Kelas : 1IA15
Budaya Berjilbab
Pendahuluan
Kebudayaan sering kali dipahami dengan pengertian yang tidak tepat.
Beberapa ahli ilmu sosial telah berusaha merumuskan berbagai definisi tentang
kebudayaan dalam rangka memberikan pengertian yang benar tentang apa yang
dimaksud dengan kebudayaan tersebut. Akan tetapi
ternyata definisi-definisi tersebut tetap saja kurang memuaskan. Terdapat dua
aliran pemikiran yang berusaha memberikan kerangka bagi pemahaman tentang
pengertian kebudayaan ini, yaitu aliran ideasional dan aliran
behaviorisme/materialisme. Dari berbagai definisi yang telah dibuat tersebut,
Koentjaraningrat berusaha merangkum pengertian kebudayaan dalam tiga wujudnya,
yaitu kebudayaan sebagai wujud cultural system, social system, dan artifact.
Kebudayaan sendiri disusun atas beberapa komponen yaitu komponen
yang bersifat kognitif, normatif, dan material. Dalam memandang kebudayaan,
orang sering kali terjebak dalam sifat chauvinisme yaitu membanggakan
kebudayaannya sendiri dan menganggap rendah kebudayaan lain. Seharusnya dalam
memahami kebudayaan kita berpegangan pada sifat-sifat kebudayaan yang variatif,
relatif, universal, dan counterculture.
Budaya dan Jilbab
Jilbab adalah istilah untuk pakaian wanita sejenis baju kurung yang
menutupi seluruh tubuh terkecuali wajah dan telapak tangan. Jilbab juga
disinggung dalah al-Qur'an, yaitu dalam Surat al-Ahzaab ayat 59, artinya :
Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu dan kepada anak-anak perempuanmu
serta kepada isteri-isteri orang-orang mu'min : "hendaklah mereka
mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu".Termasuk
ajaran agama dan etika Islam adalah berpakaian islami. Cara berpakaian seorang
wanita terbagi dalam berbagai kondisi, yaitu ketika salat, ketika ihram, dan
dalam kehidupan sehari-hari. Ketika salat seorang wanita harus menutupi seluruh
badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, demikian juga ketika dalam
keadaan Ihram, hanya disini diwajibkan kepadanya untuk tidak menutup muka dan
kedua telapak tangannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di tempat publik, menurut
Jumhur (mayoritas) ulama (Hanafi, Maliki dan Syafi'i) wanita wajib menutup
seluruh badannya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Pendapat ini
dilandaskan kepada al-Qur'an surat an-Nur ayat 31 : "Dan hendaknya mereka
(kaum muslimat) menurunkan kerudung mereka hingga menutupi kerah baju mereka ke
dadanya". Ayat ini menunjukkan kewajiban menutup kepala, kecuali dalam
lingkungan keluarganya sendiri. Ayat ini diperkuat oleh sebuah hadist riwayat
Abu Dawud: Nabi berkata kepada Asma (puri Sahabat Abu Bakar) "Hai Asma,
kalau wanita telah kedatangan haid (telah masuk masa haid), maka tidaklah layak
dirinya untuk dilihat, kecuali ini dan ini", sembari menunjuk muka dan
kedua telapak tangan. Hanya mazhab Hanbaliyah mengatakan bahwa wanita harus menutup
seluruh badannya di depan publik. Jadi berpakaian Islami dalam ajaran agama Islam
adalah setingkat lebih khusus dibandingkan dengan hanya sekedar berpakaian dan
mempunyai muatan etis agamis tersendiri. Dengan demikian berpakaian islami
sesuai aturan al-Qur'an dan hadist lebih merupakan ajaran agama, daripada
sekedar bias budaya ataupun iklim. Dalam kata lain, menutup kepala bagi seorang
muslimah merupakan ajaran dan etika agama, sedangkan menghindari image negatif
di mata publik atau menghindari fitnah dan keinginan tidak baik laki-laki
adalah hikmah atau manfaat dari cara berpakaian islami itu sendiri.
Permasalahan agama bisa menjadi rumit dan komplek kalau kita
mengkaitkan ajaran agama dengan pengaruh budaya dan iklim, karena pada ujungnya
kita akan terseret kepada ketentuan yang serba tidak jelas. Sebuah ilustrasi
mungkin di sini bisa dikemukakan: masyarakat suku Asmat di Irian, sesuai budaya
mereka, berpakaian etis mungkin hanya cukup menutup bagian minim dari tubuh,
baik untuk wanita maupun laki-laki. Begitu juga ukuran yang tidak menyebabkan fitnah
dalam budaya mereka juga cukup demikian. Seandainya kita mengkaitkan ajaran
agama Islam dengan budaya dan iklim, tentu kita akan bisa berpendapat bahwa
untuk muslimah Asmat dalam berpakaian boleh saja seperti itu karena alasan
budaya dan iklim. Tentu ini kurang tepat menurut logika keagamaan kita. Kalau
permasalahannya adalah rambut rontok, gatal-gatal, bau badan dll, tentu tidak
bisa digunakan sebagai ukuran dalam agama, karena itu semua lebih bersifat
personal dan berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Begitu juga masalah
rasa kurang praktis dalam berjilbab, itu sangat kondisional. Adapun Iman dan
taqwa seseorang, tentu tergantung kepada sejauh mana seseorang menegakkan
ajaran agamanya.
Satu hal yang patut kita garis bawahi dalam masalah busana muslimah,
khususnya bagi mereka yang hidup di masyarakat yang sekuler adalah membedakan
antara esensi ajaran agama dan realitas kehidupan yang kita hadapi. Dalil dan
ajaran yang mewajibkan berpakaian sesuai dengan al-Qur'an dan hadist, sudah
cukup jelas maksudnya. Itulah ajaran agama kita yang harus kita laksanakan. Dan
kita harus tanamkan dalam hati kita bahwa itulah tanggung jawab kita untuk
menegakkannya, dimulai dari diri kita. Namun, terkadang kondisi sosial,
lingkungan kerja, tuntutan karier, dll yang menyebabkan seorang muslimah tidak
atau belum mampu melaksanakan ajaran berbusana muslimah. Bila seorang
muslimah dalam kondisi demikian mampu untuk berbusana muslimah, berjilbab
dengan konsisten, tentu ini adalah hal terpuji menurut agama. Akan tetapi bila
kondisi-kondisi tadi masih belum atau tidak memungkinkannya untuk segera
berbusana muslimah, hendaknya seorang muslimah tetap menanamkan dalam hatinya
niat baik bahwa suatu saat ia akan segera berbusana muslimah manakala situasi
dan kondisi telah memungkinkannya. Karena itulah sebenarnya ajaran agama kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar